Rabu, 09 Oktober 2013

Santri Sedikit Tidur, Sedikit Makan, Banyak Menghafal

Sejak didirikan sekitar tahun 1966 silam oleh Almarhum KH Marzoeqi, Pesantren Raudlatul Muta’allimien di Kelurahan Wonoasih Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo terus mengalami perkembangan. Dari awalnya hanya sebuah tempat berkumpul warga, kini pesantren tersebut tumbuh pesat. Hingga kini, pesantren ini sudah memiliki lembaga pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Lengkapnya lembaga pendidikan di pesantren tersebut, membuat banyak santri dan murid berdatangan. Mereka tidak hanya dari dalam, tetapi juga dari luar Kota Probolinggo. Kini santri yang mondok sudah mencapai 30 santri dan ditambah 900-an anak yang menempuh pendidikan di lembaga dibawah naungan yayasan Raudlatul Muta’allimien. Kiai Ibnu Athoillah saat ditemui di kediamannya di Jalan Mastrip Gg. Pesantren Kota Probolinggo mengaku, para remaja sekarang sudah jarang melakukan beberapa kebiasaan santri pada masa lalu, seperti sedikit tidur, sedikit makan dan juga banyak menghafal. “Saat ini kebiasaan tersebut sudah tidak lagi menjadi kebiasaan lama,” ungkapnya. Untuk melestarikan budaya santri itu menurut Kiai Ibu Athoillah, pesantrennya saat ini menerapkan hanya dua kali makan. Hal itu untuk menambah daya pikir santri. Dan dengan cara seperti itu, para santrinya tersebut diharapkan bisa menajamkan mata batin dan tidak hanya kecerdasan pola pikir. “Dengan seperti itu, para santri mudah menghafal dan juga kecerdasan emosionalnya akan semakin bertambah, bukan hanya kecerdasan pola pikir saja. Sehingga nantinya ada keseimbangan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual,” jelasnya. Dikatakan Kiai Ibnu Athoillah, aturan tersebut diterapkan berdasarkan pengalamannya saat menyantri di Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. Saat itu ia dan teman-temannya harus melakukan hal yang sama yang diterapkan di pesantren tersebut, yakni sedikit tidur, sedikit makan sehingga dengan demikian ia bisa lebih mudah untuk menghafal kitab dan juga menghafal pelajaran yang lainya. ”Karena dengan seperti itu saya bisa menghafal lebih mudah. Kegiatan itu saya terapkan hingga saat menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kali Jaga. Hasilnya pun sama, saya dengan mudah dapat menyerap ilmu yang diberikan,” terangnya. Meski para santri yang berada di pesantern tersebut hanya diperbolehkan untuk makan dua hari, namun para orang tua tidak ada yang protes dengan kegiatan tersebut. “Tidak ada protes dari para wali santri. Rata-rata mereka memberikan dukungan atas kebijakan ini,” tambahnya. Sementara saat disinggung mengapa sekitar ratusan murid yang berada di naungan yayasan tersebut tidak diwajibkan untuk mondok, ia mengatakan pendidikan itu bukan paksaan, akan tetapi pendidikan itu merupakan tawaran. “Pendidikan bukan paksaan sehingga para murid tidak diwajibkan untuk mondok disini,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Red:Anam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar